Beranda | Artikel
Faidah Tafsir al-Fatihah [bagian 4]
Senin, 27 Februari 2017

Materi :

– Penetapan Sifat Rahmat bagi Allah

– Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah

– Konsekuensi Rahmat Allah

Penetapan Sifat Rahmat bagi Allah

Di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim terkandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu sifat rahmat/kasih sayang. Rahmat Allah itu maha luas, baik rahmat yang meliputi semua makhluk maupun rahmat yang hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/33])

Nama ar-Rahman bermakna Allah pemilik rahmat yang maha luas mencakup seluruh makhluk di dunia dan bagi kaum beriman di akherat. Adapun nama ar-Rahim bermakna Allah pemilik rahmat bagi kaum beriman kelak pada hari kiamat (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15)

Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah berkata, “ar-Rahman artinya Dzat yang melekat pada dirinya sifat kasih sayang (rahmat), sedangkan ar-Rahim artinya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 99-100)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang maka akan disayang oleh ar-Rahman. Sayangilah para penduduk bumi niscaya Dzat yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, disahihkan al-Albani. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 4941)

Hal ini menunjukkan bahwa kita wajib mengimani nama-nama Allah. Salah satu nama Allah itu adalah ar-Rahman. Di dalam nama ini terkandung sifat rahmat/kasih sayang yang sempurna. Sampai-sampai disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah ‘jauh lebih penyayang kepada hamba-Nya daripada kasih sayang seorang ibu kepada bayinya’ (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu di dalam nama ar-Rahman juga terkandung sifat rahmat Allah yang maha luas. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas mencakup segala sesuatu.” (al-A’raaf : 156). Allah juga mengisahkan doa para malaikat bagi kaum beriman (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu yang meliputi segala sesuatu.” (Ghafir : 7) (lihat al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 10)

Inilah salah satu manhaj/metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah. Mereka mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak (ta’thil) dan tanpa menyerupakan (tamtsil). Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” (asy-Syura : 11). Sehingga di dalam nama ar-Rahman terkandung sifat rahmat/kasih sayang. Kita wajib menetapkan bahwa sifat itu ada pada diri Allah. Tidak boleh kita selewengkan makna rahmat menjadi irodatul in’am/kehendak untuk mencurahkan nikmat atau kehendak memberikan kebaikan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15 oleh Syaikh Abdullah al-Qar’awi)

Nama ar-Rahman menunjukkan kasih sayang Allah yang maha luas mencakup seluruh makhluk, baik orang yang beriman maupun orang kafir. Rahmat Allah bagi kaum beriman adalah dalam bentuk pemberian taufik kepada mereka untuk mengikuti kebenaran, meniti jalan yang lurus, dan lain sebagainya. Adapun rahmat untuk mereka di akhirat adalah Allah masukkan mereka ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan Allah selamatkan mereka dari neraka. Rahmat Allah bagi orang kafir di dunia adalah dengan diberikannya kesehatan, makanan, minuman, dsb. Adapun di akhirat rahmat itu berupa keadilan dalam hal hisab dan balasan untuk mereka (lihat al-Lubab fi Tafsiril Isti’adzah wal Basmalah wa Fatihatil Kitab, hal. 99)

Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi’liyah

Hal ini mengisyaratkan bahwa rahmat Allah itu sangatlah luas meliputi siapa saja. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas meliputi segala sesuatu.” (al-A’raaf : 156). Karena pada dasarnya Allah adalah pemilik sifat kasih sayang; inilah yang disebut oleh para ulama dengan sifat dzatiyah. Maknanya sifat kasih sayang Allah itu selalu melekat pada diri-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu Yang Maha Pengampun Sang Pemilik Kasih Sayang.” (al-Kahfi : 58).

Dan di sisi lain, Allah memiliki kehendak untuk memberikan kasih sayang-Nya itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan inilah yang disebut para ulama dengan istilah sifat fi’liyah. Artinya akan ada sebagian hamba yang Allah jatuhkan azab dan ada pula yang diberikan rahmat-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Allah menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya dan memberikan rahmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (al-‘Ankabut : 21). (lihat al-Lubab fi Tafsir al-Isti’adzah wal Basmalah wa Fatihatil Kitab, hal. 94-96)

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “ar-Rahman yaitu apabila dimintai pasti memberi. Adapun ar-Rahim adalah jika tidak dimintai maka dia marah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/27]). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah maka Allah pasti murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da’awat [3373] dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)

Hal ini menunjukkan bahwasanya rahmat Allah itu pun mencakup orang-orang kafir. Diantara bentuk rahmat Allah kepada mereka adalah dengan menunda hukuman/adzab untuk mereka -agar mereka punya kesempatan untuk bertaubat- dan Allah pun tetap memberi rezeki dan kesehatan kepada mereka -agar mereka mau tunduk bersyukur dan mentauhidkan-Nya- meskipun di saat yang sama mereka justru berbuat syirik dan kekafiran kepada-Nya (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, hal. 57)

Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut turunnya air hujan adalah disebabkan sifat rahmat dan kasih sayang Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Khalid al-Juhani radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan ketika turun hujan maka hamba-hamba Allah yang beriman mengatakan, “Kami diberikan hujan dengan keutamaan dari Allah dan rahmat dari-Nya.”

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Turunnya air hujan merupakan salah satu pengaruh dan dampak dari sifat rahmat Allah sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Maka perhatikanlah kepada bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya.”.” (lihat I’anatul Mustafid, 2/41)

Konsekuensi Rahmat Allah

Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu nama Allah adalah ar-Rahman yang bermakna pemilik rahmat yang sangat luas (lihat Tafsir Juz ‘Amma oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, hal. 15)

Imam Ibnul Qayim rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam nama ar-Rahman terkandung sifat-sifat Allah yang sangat mulia yaitu berbuat ihsan/kebaikan, dermawan, dan melakukan kebajikan (lihat dalam adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 1/27)

Bahkan, apabila kita mencermati kandungan faidah dari nama ar-Rahman ini -yaitu besarnya rahmat Allah kepada manusia- niscaya kita akan memahami bahwasanya konsekuensi paling utama kasih sayang Allah itu adalah tidak menelantarkan hamba, dan itu terbukti dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Perhatian Allah terhadap hal itu jauh lebih besar daripada perhatian-Nya kepada manusia dalam bentuk menurunkan hujan dan menumbuhkan tanam-tanaman. Karena sifat kasih sayang Allah yang ‘memberikan lahan’ hidupnya hati dan ruh tentu lebih agung daripada manifestasi kasih sayang Allah yang menjadi sebab hidupnya badan jasmani manusia (lihat dalam adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 1/38-39)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (al-Anbiya’: 107). Inilah nikmat Allah yang terbesar kepada hamba-hamba-Nya. Yaitu diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus, untuk mengeluarkan mereka dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya serta untuk menegakkan hujjah kepada mereka (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qoiruwani, hal. 108)

Sifat rahmat Allah juga melahirkan ampunan dan harapan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala macam dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar: 53)

Dari Abu Musa radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla senantiasa membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu siang dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat pelaku dosa di waktu malam, sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Taubah [2759]). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bertaubat sebelum terbitnya matahari dari arah tenggelamnya niscaya Allah masih menerima taubatnya.” (HR. Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa at-Taubah wa al-Istighfar [2703])

Kesimpulan dan Faidah :

– Di dalam al-Fatihah terkandung iman terhadap nama dan sifat Allah

– Diantara sifat Allah itu adalah sifat rahmat

– Rahmat Allah luas mencakup segala sesuatu

– Sifat rahmat yang melekat pada diri Allah disebut sifat dzatiyah

– Sifat rahmat yang diwujudkan dalam perbuatan disebut sifat fi’liyah

– Wajib mengimani nama dan sifat Allah apa adanya tanpa menolak atau menyimpangkan

– Salah satu bukti rahmat Allah adalah turunnya hujan ke bumi

– Konsekuensi paling utama dari sifat rahmat Allah adalah diutusnya para rasul

– Agama yang dibawa oleh para rasul merupakan sebab hidupnya hati

– Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rahmat bagi segenap insan

– Sifat rahmat Allah melahirkan ampunan dan harapan

Pertanyaan Evaluasi :

– Sebutkan makna dari nama ar-Rahman dan ar-Rahim!

– Apa yang dimaksud dengan sifat dzatiyah?

– Apa yang dimaksud dengan sifat fi’liyah?

– Bagaimana bentuk rahmat Allah kepada orang beriman?

– Bagaimana metode ahlus sunnah dalam mengimani nama dan sifat Allah?


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-tafsir-al-fatihah-bagian-4/